Hukum Mengkonsumsi 'Todan'

Hukum Mengkonsumsi 'Todan'

Di Sulawesi Selatan bagian utara, tepatnya di Kabupaten Enrekang terdapat satu spesies hewan yang tidak ditemukan pada bagian sulawesi lainnya. Oleh warga setempat hewan tersebut disebut todan atau tondan atau disebut katak besar. Todan merupakan hewan yang hidup di hutan primer yang di Sulawesi Selatan hanya dapat ditemukan di Kabupaten Enrekang. Hewan yang bernama latin Limnonectes Grunniens ini masih satu famili dengan katak dan kodok. Perbedaan yang paling menonjol membedakannya dengan katak pada umumnya adalah ukurannya yang cukup besar. Ukuran satu ekornya bisa mencapai 1,5 kg dengan panjang kisaran antara 30-50 cm. Ukurannya yang besar itu sering disamakan dengan seukuran bayi manusia. Menurut LIPI, jenis katak tersebut, selain ditemukan di Enrekang, juga bisa ditemukan di Papua dan Maluku. Berdasarkan hasil penelitian, hewan ini sekali bertelur dapat menghasilkan 1.000 butir telur per tahunnya.

Habitat hewan ini biasanya hidup sungai-sungai yang beraliran jernih dengan bebatuan yang besar atau di kebun-kebun warga yang berdekatan dengan sumber air. Karena aktivitas hewan ini pada malam hari maka warga desa biasa memburunya juga pada malam hari.

Uniknya di beberapa perkampungan di Kab. Enrekang seperti Desa Kadingeh Kecamatan Baraka, hewan ini menjadi bahan konsumsi warga setempat. Bahkan kegiatan mengkonsumsi todan ini sudah dianggap lumrah oleh warga di sana tak terkecuali oleh mereka yang beragama Islam. Oleh warga Suku Duri yang berdiam di Desa Kadingeh menganggap kegiatan mengkonsumsi todan ini sebagai warisan leluhur karena telah dilakukan secara turun temurun. Warga desa mengkonsumsinya dengan berbagai olahan. Sebelum dikonsumsi, todan dibersihkan dan dikuliti terlebih dahulu karena memiliki lendir. Warga Desa  Kadingeh sering mengolah todan menjadi kentucky (digoreng tepung atau crispy), dipanggang atau dimasak berkuah kuning seperti halnya kalau memasak ikan (palu mara – masakan khas Bugis Makassar). Akibat dari kebiasan warga tersebut, hewan todan saat ini sudah terancam punah. 

Bagaimana Hukum Mengonsumsi Todan ? 

Bila merujuk pada al-Quran dan hadis, maka tidak akan ditemukan nash yang menyebutkan perintah memakannya ataupun larangan memakannya secara spesifik. Namun jika mengacu pada penjelasan sains-biologi bahwa todan ini masih merupakan satu famili dengan katak, yang secara morfologi, fisiologi dan perilaku kehidupan tidak memiliki perbedaan signifikan dengan katak pada umumnya, bahkan ada yang menyamakannya dengan katak dengan menyebutnya  dengan katak besar. Maka untuk menentukan status hukum mengkomsumsinya, maka yang dapat dijadikan acuan adalah bagaimana hukum mengkonsumsi katak yang sudah lama telah menjadi perbincangan di kalangan ulama mazhab.  

Jika mengacu pada pandangan ulama terkait bagaimana hukum mengkonsumsi katak maka akan ditemukan ragam pandangan. Ulama dari kalangan Mazhab Maliki misalnya mengatakan halal, sementara ulama dari kalangan Mazhab Syafi'i dan oleh jumhur ulama (kebanyakan ulama) mengharamkannya. Oleh ulama Mazhab Maliki yang menghalalkannya didasarkan pada dalil bahwa tidak ada nash yang secara terperinci dan tegas yang menyebut langsung tentang keharamannya, maka dengan begitu maka harus kembali kepada kaidah, bahwa asal dari segala sesuatu boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya (al-ashlu fil asyail ibaha hatta yadullu dalil alal tahrim). Sementara ulama Syafi'i dan jumhur ulama mengharamkannya dengan mendalilkan pandangannya bahwa katak ini termasuk hewan yang menjijikan (al-khabits) dan disebut memiliki larangan tersendiri dalam hadis, yaitu hadis tentang larangan membunuh katak meski untuk pengobatan. Sebagaimana hadits yang menyebutkan "Dari Abdurrahman bin Ustman al-Quraisy bahwa seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah Saw tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah Saw melarang membunuhnya" (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai).

Fatwa MUI tahun 1948 M yang diselenggarakan pada November 1948 di Masjid istiqlal Jakarta tentang hukum memakan dan membudidayakan kodok juga memutuskan bahwa boleh membudidayakan kodok hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan. Sementara, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2003 kembali menegaskan tentang keharaman memakan katak bagi umat Islam. Dalam fatwa No. 4 tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal pada poin 6 tentang masalah kodok disebutkan bahwa Nabi melarang membunuh kodok, maka haram pula membunuh dan memakannya.

Dalam fatwa tersebut MUI tidak menafikkan adanya perbedaan pandangan dari kalangan ulama mazhab mengenai status hukum mengkonsumsi katak. Kendati demikian, MUI dalam fatwa tersebut menghimbau agar umat Islam menghindari mengkonsumsi katak demi menghindari perbedaan pandangan dan memastikan keamanan pangan. MUI dalam menetapkan fatwa dan memilih mempertegas pendapat yang mengharamkan memakan katak merupakan pengambilan fatwa yang mengedepankan prinsip kehatian-hatian. Maka atas dasar itu, memilih untuk tidak mengkonsumsi katak adalah pilihan yang jauh lebih selamat. 

Atas dasar itu pula, warga Enrekang sebaiknya tidak lagi mengkonsumsi todan, bukan semata-mata untuk menyelamatkan todan dari ambang kepunahan, akan tetapi sebagai bentuk kehatian-hatian dalam menghindarkan diri dari mengonsumsi dari sesuatu yang haram.  Wallahu 'Aelam.